Umak, kau wanita tertangguh di dunia
May
08
“Sabarlah kau dulu, nanti kalau Mak sudah punya uang,
baru kita lanjutkan sekolahmu”
Kata-kata Umak seperti memaksaku untuk memahami
keadaan, sementara ijazah pendidikan dasarku tak tau harus kukemanakan.
Aku tertunduk lesu saat mendengar pernyataan itu. Kecewa
namun harus terima karena memang keadaan keluargaku yang tidak mampu, sementara
saat itu dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) belum ada.
Haruskah aku mengubur cita-citaku hanya karena
ketiadaan? Bukankah fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara?
bisakah aku mengadu kepada Pak Presiden? Ah… tapi bagaimana caranya, dengan
cara bagaimana aku bisa kesana? seribu tanya seakan mendesak keinginanku untuk
melanjutkan sekolah.
Dua
minggu lagi, tahun ajaran baru akan dimulai. Sementara aku belum melakukan
pendaftaran karena tidak cukup biaya. Berbeda dengan teman-temanku yang sudah selesai melakukan pendaftaran di
sekolah yang mereka inginkan.
“Sekarang
kau bersiap-siaplah, kita akan pergi ke sekolah” tiba-tiba Umak mengagetkanku
“Haaa? Umak sudah punya duit Mak?” tanyaku heran
“Tak
usah kau fikirkan itu, sekarang kau bersiap saja, kita mendaftar sekarang!” jawab Umak tanpa penjelasan.
Tanpa
pikir panjang, aku pun segera bersiap-siap untuk pergi ke sekolah dengan Umak.
Sesampai
di sekolah, kulihat Umak sambil menitiskan air mata bercerita dengan Bapak Kepala
Sekolah tentang keadaan keluarga kami dan keinginan saya untuk sekolah, namun tidak
terealisasi karena terkendala biaya. Tak kuat membendung rasa sedih, aku pun
ikut menangis. Untunglah Bapak Kepala Sekolah berbaik hati dan menaruh simpati.
Akhirnya aku diterima mendaftar masuk dengan biaya pendaftaran dibayar setengah
dulu, namun sisanya tetap harus dilunasi.
Akhirnya aku diterima dan terdaftar sebagai siswa baru di MTsN Ujung Gading, Pasaman
Barat. Aku tak ingin memikirkan dulu kedepannya itu seperti apa, yang penting
untuk saat ini aku bisa sekolah. “Besok, ya… besok pula difikirkan” kata-kata umak
itulah agaknya yang mendoktrin pikiranku hingga menjadi sebuah prinsip yang
slalu kupegang hingga sekarang.
Umak
yang harus bekerja di sawah orang tiap hari untuk mendapatkan uang membuatku
tidak tega melihatnya, sementara Ayah sudah tidak kuat lagi bekerja karena kaki
kirinya susah untuk berjalan. Konon Umak bilang, kaki Ayah ditendang keras oleh
kakak sulungku karena sakit jiwa.
Suatu
hari, kuberanikan diri untuk menghadap Bapak Kepala Sekolah. Kuutarakan maksud hati agar
diberi pekerjaan bantu-bantu di sekolah, apapun pekerjaannya aku terima. Akhirnya
aku diberi tugas menyiapkan minuman di ruang majelis guru dan mencuci gelas
minuman itu kembali usai jam pelajaran berakhir.
Seminggu
sebelum uang pelunasan biaya pendaftaran yang dijanjikan, tiba-tiba Bapak Kepala Sekolah memanggilku ke ruangannya.
“Saya
dan beberapa guru di sini sudah sepakat untuk melunasi uang pendaftaranmu,
nanti bilang sama Ibumu di rumah ya”
Serasa
menemukan permata dalam lumpur saat aku mendengar pernyataan dari bapak Kepala
Sekolah. Sepulang sekolah, langsung kuceritakan berita baik itu pada umak. Dengan
menitiskan air mata, umak memelukku tak mengeluarkan kata apapun, dia hanya
menangis.
Aku
sedih. Sedih bukan karena aku harus mencari uang sendiri untuk biaya sekolahku,
tapi sedih melihat Umak menangis, sedih melihat Umak harus banting tulang untuk
mencukupi kebutuhan keluarga kami.
Sejak
saat itu, aku berprinsip bahwa uang bukanlah jalan utama untuk mewujudkan
cita-cita, melainkan mimpi, kerja keras dan doa kepada Tuhan.
Wednesday, May 08, 2013 | Label: Cerpen, Flash True Story |
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
- Cara memformat Rupiah di Ms. Excel sesuai keinginan
- Cara Install Plants vs Zombies 2 untuk android secara offline
- Tips mengatasi file yang tidak bisa diekstrak ( WinRAR: Diagnostic messeges : Access denied )
- Tips untuk mengembalikan Explorer.exe yang hilang atau tidak berfungsi pada windows XP
- Tips untuk mengembalikan Folder Libraries yang hilang dan berubah ekstensi menjadi "libraries-ms" pada windows 7
- Antara Ibu dengan Bakmi
- Umak, kau wanita tertangguh di dunia
- Sekelumit tentang Aku
- KEHILANGAN
- Sebulan kerja tanpa gaji
- Merintih
- Misteri di balik kharisma
- Kepada Abang
- SKETSA HIDUP SEORANG SAHABAT
- Duhai; Kemana saja aku selama ini
0 komentar:
Post a Comment